Restorasidaily | Palembang, Sumatera Selatan

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ini sering dibicarakan, terutama karena banyak orang berharap program ini bisa menekan angka stunting yang masih tinggi di berbagai daerah. Secara sederhana, ide MBG ini memang terdengar sangat baik, anak-anak sekolah diberi makanan yang sehat setiap hari, kebutuhan gizi mereka terpenuhi, dan orang tua pun sedikit terbantu. Tapi di balik itu semua, muncul satu pertanyaan yang sulit dihindari, program ini benar-benar solusi atau hanya janji politik yang manis didengar?
Di sekolah-sekolah yang muridnya banyak berasal dari keluarga kurang mampu, masalah kurang gizi sudah jadi pemandangan yang biasa. Ada anak-anak yang berangkat ke sekolah tanpa sarapan, ada yang tidak membawa bekal untuk dimakan saat jam pelajaran, dan ada juga yang tidak membawa uang jajan sehingga tidak bisa membeli makan apapun di sekolah yang pada akhirnya membuat sulit fokus saat belajar. Ketika MBG masuk, banyak guru merasa ada perubahan, mulai dari suasana belajar yang lebih hidup karena siswa tidak lagi lesu menahan lapar, hingga meningkatnya kehadiran dan fokus mereka di kelas. Program ini perlahan membuat guru melihat bahwa kebutuhan dasar yang terpenuhi memang punya pengaruh besar terhadap kualitas pembelajaran.
Namun, kalau kita lihat lebih dalam, pelaksanaan MBG tidak selalu mulus. Di beberapa tempat, makanan datang tidak teratur. Kadang porsinya kurang, kadang kualitasnya jauh dari kata “bergizi”. Ada juga daerah yang anggarannya lambat turun, sehingga sekolah harus mencari cara sendiri agar program tetap berjalan. Kondisi seperti ini membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah pemerintah benar-benar menyiapkan program ini dengan matang, atau hanya ingin mendapat simpati saat pemilihan?
Di sisi lain, masalah stunting itu sendiri tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberi makan gratis di sekolah. Anak-anak butuh perhatian menyeluruh, mulai dari kesehatan, kebersihan, hingga pola makan di rumah. Kalau di sekolah makanannya sehat tapi di rumah tidak, persoalan gizi tetap tidak akan terselesaikan. Jadi, MBG harus diiringi dengan edukasi untuk orang tua dan kerja sama lintas instansi, bukan hanya diserahkan ke sekolah semata.
Meski begitu, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa MBG punya potensi besar jika dijalankan dengan serius. Program ini bisa membantu ekonomi warga jika bahan makanan dibeli dari petani lokal atau UMKM sekitar. Banyak sekolah juga melaporkan bahwa siswa lebih rajin datang karena tahu ada makanan yang mereka tunggu setiap pagi.
Pada akhirnya, keberhasilan MBG tidak bergantung pada seberapa sering program ini dipromosikan, tetapi seberapa konsisten pemerintah menjalankannya di lapangan. Jika dilaksanakan dengan niat dan pengawasan yang benar, MBG bisa menjadi salah satu langkah penting untuk menciptakan generasi Indonesia emas 2045, tetapi jika hanya digembar-gemborkan tanpa kesiapan, program ini akan terlihat seperti janji politik yang kembali hilang setelah masa kampanye usai.
Zindan (Mahasiswa Ilmu Politik, UIN Raden Fatah Palembang)




