Restorasidaily | Palembang, Sumatera Selatan
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan cerminan seberapa jauh negara berani mengontrol kekuasaannya sendiri. Di Indonesia, korupsi masih menjadi bayangan gelap dalam dunia politik. Kasus terus bermunculan, bahkan melibatkan pejabat yang seharusnya menjadi teladan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sistem politik kita benar-benar dirancang untuk melawan korupsi, atau justru memberi ruang hidup baginya?
Di Indonesia, politik yang mahal membuat kekuasaan sering diperlakukan sebagai investasi. Ketika jabatan diperoleh dengan biaya tinggi, godaan menyalahgunakan wewenang menjadi semakin besar. Penegakan hukum memang berjalan, tetapi sering kali terasa setengah hati. Hukuman ringan, remisi, dan perlakuan khusus bagi elite menimbulkan kesan bahwa korupsi masih bisa ditawar.
Bandingkan dengan negara-negara seperti Singapura, Denmark, dan Selandia Baru. Di sana, korupsi diperlakukan sebagai aib nasional. Hukum ditegakkan dengan cepat dan tanpa kompromi. Tidak ada ruang bagi negosiasi politik atau perlakuan istimewa. Akibatnya, pejabat lebih takut melanggar aturan daripada kehilangan jabatan.
Singapura, misalnya, menutup celah korupsi melalui pengawasan ekstrem dan sanksi keras. Pejabat digaji layak, tetapi juga diawasi tanpa ampun. Negara-negara Skandinavia bahkan lebih jauh lagi: transparansi dan kepercayaan publik menjadi senjata utama, sehingga korupsi nyaris tidak mendapat ruang untuk tumbuh.
Mengapa Indonesia Tertinggal?
Masalah utama Indonesia bukan pada kurangnya aturan, melainkan lemahnya keberanian politik. Korupsi
sering dipandang sebagai skandal sesaat, bukan kejahatan serius yang merusak masa depan bangsa. Selama hukum masih bisa dinegosiasikan dan kekuasaan dilindungi oleh kepentingan politik, upaya pemberantasan korupsi akan selalu tersendat.
Pandangan Penulis
Menurut saya, perbandingan ini membuka fakta pahit: korupsi bertahan bukan karena pelakunya cerdas, tetapi karena sistem membiarkannya hidup. Negara-negara lain sudah membuktikan bahwa korupsi bisa ditekan jika kekuasaan mau dikontrol secara ketat dan hukum dijalankan tanpa pandang bulu. Indonesia seharusnya bisa, jika benar-benar berani.
Sebagai penutup, ketegasan negara seharusnya tidak diukur dari seberapa sering kasus diungkap, tetapi dari seberapa sedikit korupsi berani muncul.
> “Korupsi akan selalu hidup di negara yang terlalu lunak pada kekuasaan dan terlalu keras pada rakyatnya.”
— M. Gibran Al Fathir




